Hack Situs Presiden RI

•18 Maret 2007 • 3 Komentar

hack pictureAda yang lain dalam topik utama di situs Presiden RI. Sebuah surat tuntutan ala tritura tahun 50-an. Komunitas underground menuntut sesuatu dari pemimpin Negara tanpa huru-hara dan demontrasi besar-besaran dengan pengerahan massa. Sebuah tuntutan sederhana dari “pemerhati”. Semangat religi tuntutan 17 Maret 2007 terlihat dari teguran yang disampaikan membawa nuansa nilai keagamaan. Peringatan yang melihat bencana sebagai bentuk teguran dari Absolute Power yang layak untuk diperhatikan. fenomena bencana yang melanda dijadikan satu ukuran peringatan keras (sebuah pemerintahan yang melupakan tanda-tanda langit sampai-sampai dibutuhkan teguran frontal; BENCANA). Harga yang harus dibayar cukup mahal. Ribuan nyawa melayang dan milyaran materi hilang; TIDAK sepenuhnya tergantikan! . tuntutan juga terlihat eksklusif dengan membidik penurunan harga bandwith internet. Kesenjangan social, kesetaraan, keadilan, pemerataan, dan kecemburuan dalam skala global. “pemerhati” memberikan contoh India dan Cina sebagai sebuah Negara yang mampu menfasilitasi kepentingan masyarakatnya (harga bandwith). “masyarakat telematika” mulai unjuk gigi dan TIDAK bisa dianggap remeh.

Pro dan kontra atas peristiwa deface situs presiden menjadi bahan gunjingan masyarakat pada umumnya dan pemerintah yang menjadi “korban” penuntutan hak! Menjadi ironi ketika sebuah negara yang besar dengan SDM yang berceceran bergerak perlahan melawan adidaya negara. Keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia oleh sebagian golongan dirasakan sebagai ketidakadilan dalam mengelola kesejahteraan. Para pejabat negara sudah seperti lakon-lakon dalam pentas fiktif. Pidato, pergi kesana-kemari mengumbar janji-janji perbaikan; tapi hasil yang didapat KOSONG. Masyarakat masih berada pada berbagai himpitan persoalaan yang tak kunjung usai. Beragam persoalan yang melatar belakanginya tetap pada satu penyelesaian; (kebohongan yang selalu berulang-ulang!). MOU dengan microsoft atas pembelian lisensi software masih menjadi kontroversi. Satu bukti bahwa pemerintahan kurang menghargai rakyatnya sendiri. Negara menganggap masyarakat Indonesia tidak mumpuni. Pertemuan open source sedunia digelar di Bali. Masyarakat dunia sudah pada ancang-ancang untuk menggunakan open source, Indonesia malah beli licensi??? IGOS yang didengungkan malah dilanggar sendiri! LOGIKA YANG KACAU!!!

Indonesia, 17 Maret 2007
Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono
Di
Istana NegaraDengan tanpa mengurangi rasa hormat kami,
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama: on behalf of underground community
Alamat: the world where the devils gather
Nick: Qwerty

Dengan ini mewakili komunitas underground Indonesia ingin menyampaikan beberapa permintaan:
1. Turunkan harga Bandwith agar kita semua bisa merasakan internet, apa Anda tidak malu dengan China atau India?
Mereka negara berpenduduk padat yang bisa mengakomodasi kebutuhan bandwidth dengan baik
2. Dukung dan laksanakan IGOS (Indonesia Go Open Source), pikirkan masa depan bangsa ini, tingkatkan mutu pendidikan,
masa depan kita terletak di pundak mereka yang dengan jari-jari mungilnya setiap pagi mengemis dan mengamen di jalanan
3. Berantas KKN, pornografi dan pornoaksi di negeri kita tercinta ini.
Saya kira Anda telah menyaksikan bagaimana azab yang telah menimpa bangsa ini. Tsunami, Gempa Bumi, Banjir,
dan Kecelakaan baik di udara, laut maupun darat yang telah merenggut anak dari ibunya,
yang telah memisahkan adik dari kakaknya. Kurang apalagi? Tanah Longsor? Lumpur Sidoarjo?
Mungkin sebentar lagi bencana yang akan lebih besar lagi. Tidakkah kita malu terhadap Tuhan?
Sudah diperingatkan berulang kali tetap saja membangkang dan tidak ingat kepada-Nya.

Agar permintaan kami ini diperhatikan dan dilaksanakan. Karena pemimpin yang baik pasti mendengarkan suara rakyatnya.

Terima kasih.

Hormat Kami,

Qwerty

Meski situs www.presidensby.info dibobol, namun situs resmi kepresidenan yang beralamat www.presidenri.go.id tetap berpenampilan normal. Padahal baik http://www.presidensby.info dan http://www.presidenri.go.id, memiliki konten yang sama persis.

Dari detik.com

Anak Jalanan dan Subkultur: Sebuah Pemikiran Awal

•12 Maret 2007 • Tinggalkan sebuah Komentar

Anak Jalanan dan Subkultur:
Sebuah Pemikiran Awal

Oleh Kirik Ertanto

Dalam kesempatan ini, kita akan mempercakapkan gagasan mengenai subkultur. Seperti kita kenali bersama, tema ini salah satu yang diabaikan dalam perbincangan mengenai masyarakat Indonesia modern. Untuk itu sejak awal saya ingin berterus terang bahwa apa yang saja sajikan masih menyentuh bagian-bagian pinggirnya saja. Subjek yang saya pilih dalam percakapan kali ini adalah kehidupan sebagian kalangan anak muda yang berada di jalanan. Dalam kata lain, melihat kehidupan anak muda di jalan sebagai satu subkultur.

Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengkait dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Untuk memudahkan kita memahami gagAsan mengenai subkultur anak muda jalanan, maka saya akan memulai dengan satu upaya membuat peta antara hubungan anak muda dan orang tua serta kultur dominan sebagai kerangkanya.

Sekurang-kurangnya ada dua pihak yang -berkat dukungan modal yang melekat pada dirinya- berupaya mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu negara dan industri berskala besar. Di Indonesia, pihak pertama yaitu negara berupaya mengontrol kehidupan anak muda melalui keluarga. Keluarga dijadikan agen oleh negara untuk sebagai saluran untuk melanggengkan kekuasaan.

Melalui UU No. 10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga sebagai alat untuk mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya dipandang hanya memiliki fungsi reproduktif dan sosial melainkan juga fungsi ekonomi produktif. Pengambilan keputusan keluarga dijadikan alat untuk mensukseskan pembangunan pada gilirannya membawa perubahan pada posisi anak-anak da.n kaum muda dalam masyarakat.

Anak-anak dan kaum muda dipandang sebagai satu aset nasional yang berharga. Oleh karena itu investasi untuk menghasilkan peningkatan modal manusia (human capital) harus sudah disiapkan sejak sedini mungkin. Dalam hal tugas orang dewasa adalah melakukan penyiapan-peyiapan agar seorang anak bisa melalui masa transisinya menuju dewasa. Akibatnya ada pemisahan yang jelas antara masa anak-anak dan masa muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua untuk memberikan pemenuhan gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai bagian dari penyiapan masa transisi.

Saya Shiraishi (1995) yang banyak mengamati kehidupan keluasga dan masa kanak-kanak dalam masyarakat Indonesia mutakhir mengatakan bahwa implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern itu pada akhirnya menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orang tua. Orang tua menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi dengan baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum “TUNA” (tuna wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang kehidupannya ada di jalanan. Kekuatiran ini bisa dilihat secara jelas dengan streotipe mengenai kehidupanjalanan sebagai kehidupan “liar”.
Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila kemudian para. orang tua lebih memilih untuk memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah sebab lingkungan di luar rumah dianggap sebagai”liar” dan mengancam masa depan anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah yang kemudian ditangkap sebagai peluang dagang oleh para pengusaha.
Belakangan ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk membantu penyiapan masa transisi anak-anak. Program televisi yang jelas menggunakan kata (televisi) PENDIDIKAN INDONESIA adalah salah satu contoh terbaiknya. Selain itu berbagai media cetak juga mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak secara “baik dan benar” dalam rangka pengembangan sumber daya pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang dialami oleh anaknya.

Cara membesarkan anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik modal inilah yang kemudian menjadi wacana penguasa (master discourse) untuk anak-anak Indonesia. Ia digunakan sebagai alat untuk menilai kehidupan keseluruhan anak dan kaum muda di Indonesia. Hasilnya seperti yang ditunjukkan Murray (1994) adalah mitos kaum marjinal:
yang dari sudut pandang orang luar menggambarkan orang-orang ini sebagai massa marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan sebagai lingkungan liar, kejam dan kotor … sumber pelacuran, kejahatan dan ketidakamanan.

Murray tidaklah sendirian dalam memberikan adanya dikotomi rumah dan jalan. Studi Siegel (1986), Saya Shiraishi (1990) dan Jerat Budaya (1998) menunjukkan temuan yang sama.
Studi Marquez ( 1998) mengenai kaum muda jalanan di Caracas menunjukkan bahwa anak muda itu tidak secara pasif menerima begitu saja pandangan negatif dari luar. Jalan raya bukanlah sekedar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum muda tersebut jalanan juga arena untuk menciptakan satu organisasi sosial, akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi untuk keberadaaan eksistensinya. Artinya ia juga berupaya melakukan penghindaran atau melawan pengontrolan dari pihak lain.

Bertolak dari gambaran sekilas di atas, saya akan menempatkan percakapan mengenai subkultur anak jalanan di Indonesia dalam titik potong antara dikotomi rumah dan jalan di satu sisi dan orang tua (kaum dewasa) dengan anak muda di sisi lain. Fokus dari percakapan kali ini untuk sementara saya batasi bagaimana corak mode kehidupan yang ditampilkan oleh kaum muda yang besar di jalan yang kemudian bertumbuh menjadi subkultur.

Meninggalkan Rumah, Menanggalkan Masa Lalu
Sebuah sebuah kategori sosial, anak jalanan bukanlah satu kelompok yang homogen. Sekurang-kurangnya ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua sedangkan anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua. Dalam tulisan ini, anak jalanan mengacu pada kategori anak yang hidup di jalan.

Seorang anak jalanan yang sudah hampir dua puluh tahun hidup di jalan menuturkan pengalamannya pergi dari rumah. Katanya waktu kecil ia banyak ngeluyur dibanding sekolah, lebih banyak bermain dari pada belajar. Akibatnya, teman-temannya sudah naik ke kelas tiga ia masih saja duduk dibangku kelas satu. Buat sebagian anak pergi ke sekolah tidaklah selalu berarti pengalaman yang menyenangkan. Seorang anak lain N bila mengingat sekolah maka yang muncul adalah gurunya yang galak dan tubuhnya yang menjadi sasaran sabetan. Katanya:
Waktu saya sekolah saya digebugin karena di sekolah saya goblog. Di bawa ke kantor karena.sering nonton Th lalu disuruh membaca di papan tulis tidak bisa. Di sabet badanku. Pak guru saya galak. Lalu saya keluar kelas tiga.

Keadan murid-murid bermasalah seperti itu biasanya dilaporkan oleh guru kepada orang tua murid. Laporan itu bisa menjadi penyulut kemarahan orang tua. Seperti yang dituturkan H:
dan pak guru saya sering datang menemui orang tua saya menceritakan keadaan saya. Saya dimarahi bapak tidak hanya dengan suara tetapi juga digebugi pakai sapu lidi sampai merah kaki saya

Berbagai penyuluhan, berita TV dan radio secara bertubi-tubi telah mengajar para orang tua memlaui pembatinan bahwa anak yang baik adalah anak sekolahan. Karena itu wajar saja bila guru tidak mampu lagi mendidik anaknya, maka orang tualah yang akan meng(H)ajar anaknya. Hasilnya seperti H dan N lari meninggalkan rumah.

Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hampir semua anak yang saya kenal mengganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya.
Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama “modern” yang diambil dari bintang sinotren atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan anam Andi, Roy dan semacamnya. Seorang anak yang bernama Mohammad kemudian mengganti namanya menjadi Roni. Alasan yang diberikan karena Mohammad adalah nama nabi. Nama itu tidak cocok dengan kehidupan di jalan. karena yang dilakukan di jalan banyak tindakan haram.

Proses penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan bahwa ia bukan sekedar pergantian panggilan saja tetapi juga sebagai sarana menanggalkan masa lalunya. Artinya ia dalah bagian dari proses untuk memasuki satu dunia (tafsir) baru. Sebuah kehidupan yang merupakan konstruksi dari pengalaman sehari-hari di jalan.

Corak Mode Kehidupan
Menolak Tetap (Anak) Kecil
Anak jalanan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai sarana. untuk ekspresi diri sekaligus sub-versi. Pada tingkat permukaan ditunjukkan perbedaan-perbedaan oleh mereka sekaligus menegaskan pertentangan dengan negara dan masyarakat
sekitarnya (lihat Hebdige, 1979). Tubuh dijadikan sumber produksi dan aktivitas komunikasi dan menjadi lokasi pengetahuan yang krusial bagi komunitas dan hal ini membantu tewrjadinya produksi makna bagi kelompoknya. Melalui pencarian dan tingkah laku yang berbeda itu secara sengaja anak jalanan menolak dan mengejutkan kultur dominannya dengan mensub-versi nilai-nilai utamanya.

Ketika mulai tumbuh lebih besar, menampilkan nilai-nilai kejantanan
merupakan aspek yang vital bagi anak-anak jalanan. Mereka secara teratur mulai berpartisipasi menyusun konstruksi kejantanan dengan mendiskusikan berbagai peran yang dilakukan oleh anak lain serta mengomentari penampilarmya.
Meski secara sosial mereka dikategorikan sebagai anak (kecil), hampir semuanya mengadopsi bentuk-bentuk kedewasaan sebagai tanda pembangkanangan dari harapan-harapan yang ditentukan oleh masyarakat. Mereka memainkan peran yang selama ini dijalankan oleh kaum dewasa yang ada di sekitarnya, menenggak minuman keras, ngepil, judi serta menggemari free sex. Kebiasaan-kebiasaan yang dianggap tidak cocok untuk dilakukan oleh anak justru dianggap mampu membuat mereka merasa tumbuh dewasa dan menjadi jantan.

Judi, misalnya, merupakan permainan yang populer, meski dianggap ilegal dan dimainkan di tempat-tempat tersembunyi. Rata-rata mereka mengaku menikmati permainan judi karena melibatkan resiko dalam pertaruhan, ketrampilan serta konsentrasi dan bila memenangkan permainan, ada rasa bangga menempati posisi puncak dari hasil permainan. Selain itu juga mendapatkan uang yang relatif banyak.

Seorang dewasa yang sering memperhatikan dan bergaul dengan anak-anak jalanan mengatakan bahwa jika dilarang untuk melakukan tindakan tertentu, maka anak-anak jalanan itu seperti disuruh. Apa pun akan dilakukan untuk menentangnya. Katanya, itu bagian dari indentitas pembangkangan. Atau dalam kata lain menolak dianggap (anak) kecil terus.

Gaya Pakaian dan Dandanan Tubuh
Satu kali, H ( 12 tahun) mendapatkan uang cukup banyak dari hasil nyemirnya. Uang itu dibelikan kaos dan celana. jeans. Dengan pakaian baru yang bersih itu kemudian pergi menyemir. Ternyata dengan pakaian bersih semacam itu, tak banyak orang yang mau menyemirkan sepatunya. Berbeda dengan ketika ia memakai pakaian kotor, justru banyak orang yang mau menyemirkan sepatunya. Hal ini menunjukkan adanya satu pertentangan, di satu sisi masyarakat umum menginginkan mereka tampil secara “bersih”, namun bila tampil dengan cara semacam ini maka ia tidak mendapatkan uang yang cukup. Berbeda dengan bila ia menggunakan pakaian kumal, orang tidak menyukai tetapi menghasilkan uang yang cukup.

Situasi semacam itu menyebabkan anak-anak kemudian menggembangkan satu trend cara berpakaian yang cukup khas. Mereka kemudian lebih banyak mengadopsi cara berpakaian dari pengamen dewasa, turis asing atau dari film atau majalah yang dilihat. Salah satu yang cukup populer adalah gaya rasta yang disimbolkan melalui warna merah kuning dan biro dengan simbol daun ganja. Dan simbol itu ditampilkan di tato, di pakaian dan lainnya. Kata mereka rasta cocok dengan anak jalanan. Karena jalanan juga menciptakan orang kaya Bob Marley. Nongkrong di jalan, menghisap ganja, main gitar. Anak jalanan pengin seperti dia. Bukanlah satu hal mengherankan beberapa diantara mereka juga menggunakan model rambut dreadlocks.

Pilihan lain adalah memanjangkan rambutnya. Di Indonesia, rambut panjang merupakan kebalikan dari model rambut para orang tua. Tidak banyak orang tua yang berambut gondrong. Gondrong merupakan citra anak muda. Selain itu dari pihak kemanan gondrong sering diasumsikan sebagai preman. Bila tidak gondrong, sebagian diantaranya justru memilih melicin tandaskan rambutnya. Artinya dari pilihan atas model rambutnya mereka tidak pernah sama dengan yang berlaku dalam masyarakat umum, potongan rambut yang rapi. Dalam kata lain untuk menunjukkan bahwa merekalah yang mengontrol urusan rambut.

Selain rambut, tatto merupakan satu bentuk lain dari cara menampilkan diri. Sebagian anak melawankan tubuh yang bertatto dengan tubuh yang “bersih”. Meski dikalangan umum memiliki tatto disamakan dengan preman, namun dikalangan anak jalanan ia memiliki makna yang berbeda. Beberapa anak mengatakan bahwa tatto merupakan penanda dari “show of force” sekaligus lambang “keras” dan jantan. Sebagian dari mereka membuat tatto sebagai satu tanda untuk menyimpan ingatan tertentu. Beberapa anak membua,t tatto sebagai satu inggatan atas peristiwa perginya seorang volunter ke negara asalnya dan juga peristiwa lain.
Dalam beberapa hal bisa dikatakan bahwa kecenderungan berpakaian atau mentato tubuhnya juga menindik tubuhnya untuk dipasangi anting-anting baik di telingga, alis mata, pusar atau tempat lain tidak bisa dipisahkan dengan relasinya dengan cara penampilan yang normatif. Alternatif yang digunakan oleh anak jalanan tidak bisa tidak berada dalam dikhotomi bersih dan kumal. Menjadi “bersih” bisa jadi justru akan mengancam survival mereka di jalan. Artinya masyarakat dan anak-anak jalanan itu sendiri saling menjaga dengan tegas batas-batas yang mereka inginkan.

(Penyalah)Guna(an) Obat dan Minuman Alkohol
Menenggak minuman keras dan pil adalah satu kebiasaan yang dilakukan selama di jalan. Alasan yang diberikan adalah untuk melupakan masalah. Beberapa studi mengenai anak jalanan secara gamblang menunjukkan berbagai tekanan yang dialami oleh anak jalanan. Secara ekonomi mereka harus bekerja dalam jam kerja yang cukup panjang, secara sosial ia diletakkan sebagai sampah masyarakat, secara hukum keberadaannya melanggar pasal 505 KUHP. Bukanlah satu hal yang mengadaada bila mereka merasa tidak pernah merasa (ny)aman dalam kehidupan sehariharinya.
Tindakan-tindakan yang dipilih ini akan membawa anak-anak pada masalah hukum, karena semua tindakan ini dianggap melanggar hukum. T ( 14) memberikan alasan bahwa sebelum bekerja ia mabuk dulu untuk menghilangkan rasa malu. Karena sebetulnya ia gengsi kalau harus jadi pengamen. Dengan demikian selain sebagai strategi ekonomi, mabuk akhirnya menimbulkan sikap cuek (tidak peduli) dengan aturan hukum.

Secara umum, tindakan semacam ini sering dikatakan sebagai penyalah gunaan obat. Namun demikian, bila di tilik dari sisi lain akan terlihat sebaliknya. Dalam masyarakat modern, dengan mudah dikenali bahwa salah satu jalan keluar untuk mengatasi situasi-situasi yang menekan individu adalah dengan penciptaan obat-obatan. Dengan demikian anak-anak jalanan itu sungguh melakukan satu cara yang sudah disediakan oleh sistem dalam masyarakatnya. Dalam hal ini ia betul-betul memanfaatkan guna obat untuk mengatasi berbagai tekanan yang menimbulkan ketegangan dalam diri. Alat untuk mencapai satu kondisi nyaman.

Musik
Anak-anak juga menggunakan media musik untuk meciptakan ruang bagi dirinya untuk bersuara. Musik digunakan sebagai alat untuk memberdayakan dirinya. Selain untuk mencari makan, bermain musik juga menjadi alat untuk membangun solidaritas. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu mereka memainkan musik secara bersama-sama. Dalam kesempatan semacam inilah mereka sering menyuarakan pandangan-pandangan mereka terhadap masyarakat seperti yang tampak dalam syair yang dibuat oleh Dd (14) dan Dw (15):

SAKSI MATA

Suara letusan samar-samar terdengar
Ditengah malam yang pekat
Sesosok tubuh penuh tato
Terbujur kaku di lorong gelapnya kota
Reff: Sejenak jiwanya berteriak
Untuk ungkapkan rasa yang terasa
Dia coba bicara kerryataan Banyak yang melihat
Tak ada saksi mata…
Garis kuning di lengan baju pun puas
Nanyikan lagu kekuasaan
dengan bangga dia melangkah pergi
sambil berharap pangkatnya naik lagi
Reff: Sejenak jiwanya berteriak
Untuk ungkapkan rasa yang terasa
Dia coba bicara keadilan
Dengan pucuk pistol …
Menempel di keningnya.

Secara gamblang syair tersebut merupakan satu kritik terhadap masyarakat yang mengalami rabun ayam terhadap peristiwa yang ada di sekelilingnya. Anak-anak ini menjadi saksi mata atas keseluruhan sisitem masyarakat yang berjalan. Dan untuk bicara seperti itu pun ia sadar ada pistol yang menempel di keningnya, dianggap mengancam atau malah tidak didengar sama sekali.

Kata-kata Akhir
Kehidupan anak jalanan di mulai dengan menanggalkan masa lalunya. Keberadaannya di jalan langsung akan menghadapkan anak-anak ini pelanggaran hukum pasal 505 KUHP sekaligus akan mendapat stempel sampah masyarakat. Dengan demikian kita layak menempatkan tindakan-tindakan yang dipilih anak-anak sebagai satu respon aktif terhadap peminggiran atas dirinya. Seperti yang secara sangat kasar diapaprkan di atas tindakan-tindakan tersebut merupakan kombinasi dari kebutuhan survival, ketetapan hati untuk menentang konformitas kultur dominan, dorongan untuk mendapatkan ke(ny)amanan dan untuk mencapai tujuan-tujuan memperkuat kesetiaan dalam kelompok.

Salah satu strategi yang dipilih adalah cuek dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Dengan menjadi cuek, anak-anak ini berupaya menahan untuk menahan penyingkiran-penyingkran dari dunia sosial sekaligus mengalih ubahkan keberadaannya melalui penciptaan-penciptaan makna. yang spesifik.

Corak moda kehidupan anak jalanan terutama adalah (re)aksi yang sesungguhnya tidak memiliki kekuatan besar, namun dari posisi di pinggiran itu tetap berupaya mengekspresikan dan menciptakan makna bagi dirinya. Dengan menyimpang dari kultur dominannya anak-anak jalanan dengan sekuat tenaganya mempertahankan kontrol atas dirinya sendiri dengan ekspresi “kebebasan” dan simbol kreatifitas sekaligus menjadi ajang dari pertandingan: pemberdayaan atau penaklukan. Pendek kata, bila bagi banyak pihak menjalani kehidupan di jalan diietakkan sebagai “masalah”, maka bagi anak-anak muda itu memilih kehidupan jalanan sebagai satu “solusi”. Paradoks semacam ini memang akan tetap memposisikan anak jalanan di pinggiran, tetapi ia sekaligus juga sumber kekuatan terciptanya satu sub-kultur anak muda perkotaan.

Artikel ini dipresentasikan pada Diskusi dan Pemutaran Video “Subkultur Remaja: Underground, Skuter, PlayStation”, KUNCI Cultural Studies Center- Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta, 5 Mei 2000.

 

Darmogandul

•11 Maret 2007 • 3 Komentar

Darmogandul

 

 

 

Pernahkah Anda mendengar suatu aliran kebatinan yang bernama Darmogandul? Aliran ini berasal dari tanah Jawa, disebarkan dengan bait-bait dalam ‘kitab sucinya’ yang penuh dengan caci maki, utamanya terhadap agama Islam. Kita berhutang banyak pada Prof. Rasjidi yang telah menerjemahkan naskah Darmogandul itu dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Simaklah beberapa petikannya di bawah ini :

  • “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan dzikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, pada hakekatnya mereka itu terasa pahit dan asin.”
  • “Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, Nabi terakhir, ia sesungguhnya melakukan dzikir salah, Muhammad artinya makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.”
  • “Semua makanan dicela, umpamanya : masakan cacing, dendeng kucing, pindang kera, opor monyet, masakan ular sawah, sate rase (seperti luwak), masakan anak anjing, panggang babi atau rusa, kodok dan tikus goreng.”
  • “Makanan lintah yang belum dimasak, makanan usus anjing kebiri, kare kucing besar, bistik gembluk (babi hutan), semua itu dikatakan haram. Lebih-lebih jika mereka melihat anjing, mereka pura-pura dirinya terlalu bersih.”
  • “Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun dengan tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya.”
  • “Kalau bersetubuh dengan manusia tetapi tidak dengan pengesahan hakim, tindakannya dinamakan makruh. Tetapi kalau partnernya seekor anjing, tentu perkataan najis itu tidak ada lagi. Sebab kemanakah untuk mengesahkan perkawinan dengan anjing?”

Prof. Rasjidi juga telah membuat ringkasan ajaran aliran Darmogandul dalam beberapa poin, di antaranya :

  1. Menurut Darmogandul, yang penting dalam Islam bukan sembahyang, tetapi syahadat “sarengat”. “Sarengat” artinya hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan. Hubungan seksual itu penting sekali, sehingga empat kiblat juga berarti hubungan seksual.
  2. Darmogandul menafsirkan kata-kata pada ayat kedua dalam surah Al-Baqarah sebagai berikut : “Dzaalikal” artinya “jika tidur, kemaluan bangkit”, “kitaabu laa” artinya “kemaluan-kemaluan laki-laki masuk secara tergesa-gesa ke dalam kemaluan perempuan”, “raiba fiihi hudan” artinya “perempuan telanjang”, “lil muttaqiin” artinya “kemaluan laki-laki berasa dalam kemaluan perempuan”.

Missing link “bagi yang tau alamat aslinya boleh dibagi disini

Identitas Hibrida

•09 Maret 2007 • 1 Komentar

Identitas Hibrida

Oleh Antariksa

Dalam bukunya yang terkenal, Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism (1983), Ben Anderson menyatakan bahwa “bangsa” adalah sebuah “komunitas imajiner” dan identitas nasional adalah sebuah konstruksi yang diciptakan lewat simbol-simbol dan ritual-ritual dalam hubungannya dengan kategori administratif dan teritori. Menurutnya, bahasa nasional, kesadaran waktu, dan kesadaran ruang, merupakan konstruksi yang diciptakan lewat fasilitas-fasilitas komunikasi. Ia menjelaskan bahwa produksi koran dan buku-buku misalnya, menetapkan standar-standar bahasa yang kemudian menyediakan kondisi bagi terbentuknya sebuah kesadaran nasional.

Kritik yang bisa dikemukan atas pemikiran Anderson ini adalah bahwa ia menganggap bahasa bersifat stabil. Anderson terlalu menekankan aspek homogen, kesatuan, dan kekuatan perasaan kebangsaan yang mengatasi perbedaan klas, gender, etnisitas dsb, dan tidak melihat bahwa perbedaan konteks dan lapangan-lapangan interaksi ternyata menciptakan identitas yang khusus dan berbeda-beda. Ketidakstabilan bahasa, menurut Homi Bhabha (1994), memaksa kita untuk tidak memikirkan kebudayaan dan identitas sebagai entitas yang bersifat tetap, tetapi selalu berubah.

Pemikiran Anderson juga tidak memadai untuk melihat bagaimana kebudayaan dan identitas terbentuk dalam globalisasi. Globalisasi menyediakan sebuah tempat yang lapang bagi konstruksi identitas; pertukaran benda-benda/simbol-simbol dan pergerakan antartempat yang semakin mudah, yang dikombinasikan dengan perkembangan teknologi komunikasi, membuat percampuran dan pertemuan kebudayaan juga semakin mudah.

Dalam globalisasi, kebudayan dan identitas bersifat translokal (Pieterse 1995). Kebudayaan dan identitas tidak lagi mencukupi jika dipahami dalam term tempat, tetapi akan lebih baik jika dikonseptualisasikan dalam term perjalanan. Dalam konsep ini tercakup budaya dan orang yang selalu dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, juga kebudayaan sebagai sites of criss-crossing travellers (Clifford 1992).

Hibriditas, Kreolisasi, dan Mimikri

Ide tentang ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam globalisasi membawa kita kepada pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan pertemuan dan percampuran berbagai kebudayan dan identitas yang berbeda-beda. Inilah yang disebut hibriditas kebudayaan dan identitas. Batas-batas kebudayaan yang mapan dikaburkan dan dibuat tidak stabil oleh hibridasi.

Dalam subkultur anak muda, hibriditas ini misalnya tampak sebagai hasil internasionalisasi musik (rock, rap, hip metal dll), internasionalisasi merek (MTV, Nike, Levi’s, Coca-Cola dll), internasionalisasi olah raga (NBA, Sepakbola Itali atau Inggris dll). Di sini gaya menjadi aparatus identitas anak muda yang terpenting, dan karena itu menjadi arena hibridasi yang utama. Musik rap dinyanyikan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa (Iwa K, Denada, Neo, G-Tribe dll), gemar menonton Ketoprak Humor sekaligus MTV Unplugged, kaos bergambar klub-klub NBA atau klub sepakbola Itali dan Inggris dsb. Mana yang Indonesia dan mana yang bukan Indonesia tidak lagi penting, karena gaya adalah yang utama.

Pada tahap ini menjadi penting untuk berbicara tentang kreolisasi. Dalam kreolisasi elemen-elemen kebudayaan lain diserap, tetapi dipraktekkan dengan tidak mempertimbangkan makna aslinya. Subkultur rasta di Jamaika memakai rantai di sabuk celana, panjang, menjuntai ke bawah, menyapu lantai. Mereka memakainya sebagai bentuk solidaritas kepada teman-temanya yang dipenjara. Tetapi di Indonesia, rantai semacam itu dipakai untuk pengikat dompet, selain sebagai asesori fesyen, juga agar tak mudah kecopetan.

Konsep kreolisasi sekaligus memberikan cara berpikir alternatif, yang berbeda dengan konsep imperialisme kultural (Tomlinson 1991), yang menganggap Barat telah berhasil melakukan dominasi budaya atas Timur dengan menciptakan “kesadaran palsu” lewat budaya massa, benda-benda konsumen dll. Karena kenyataannya konsumen tidaklah pasif, melainkan menciptakan makna-makna baru bagi benda-benda dan simbol-simbol yang mereka konsumsi.

Homi Bhabha (1994) mengajukan konsep mimikri untuk menggambarkan proses peniruan/peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Menurutnya mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, ketergantungan kulit berwarna kepada kulit putih, tetapi peniru menikmati/bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi. Ini terjadi karena mimikri selalu mengindikasikan makna yang “tidak tepat” dan “salah tempat”, ia imitasi sekaligus subversi.

Dengan begitu mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya. Inilah dasar sebuah identitas hibrida.

Newsletter KUNCI No. 6-7, Mei-Juni 2000

Puritisme Dalam Sastra Indonesia

•07 Maret 2007 • Tinggalkan sebuah Komentar

                                        Puritisme dalam Sastra Indonesia
                                                      Oleh S.Yoga

Sebenarnya sudah lama hal-ihwal kelamin menjadi pembicaraan dalam dunia kesenian kita, misal dalam candi-candi. Candi Borobudur juga ada hal ihwal berhubungan antara lelaki dan wanita. Dalam serat Centini bahkan digambarkan bagaimana harus bermain, hari apa sesuai wetonnya dan ciri-ciri wanita dengan hal ihwal perempuan, bahkan dalam gua-gua sudah terpancak relief-relief yang bergambar kelamin. Perhatikan lingga yang bersimbol penis juga. Ingat pula dalam Kamasutra, Asmorogomo, Ars Amatoria, dari buku (meski ini bukan karya sastra) Sansekerta, Jawa, dan Latin, ternyata karangan-karangan itu tidak menunjukkan dan terkesan tuna susila atau pornografi, padahal menguraikan teknik hubungan seks dan seluk-beluknya.
Jadi kenapa dalam masyarakat yang tambah modern ini kita jadi uring-uringan tentang hal ihwal perempuan maupun laki-laki? Jangan-jangan tambah maju kita justru tambah puritan. Seolah merekalah yang berhak menentukan tata susila yang berlaku. Estetika dalam karya sastra haruslah sesuai dengan moral mereka, kalau tidak maka karya tersebut bersifat tuna susila. Karya yang menguar kelamin dianggap sebagai sastra populer, kurang bermutu. Kalau ini terjadi maka terjadilah sikap puritisme dalam sastra Indonesia. Pertanyaan kita, mereka itu mewakili kelas apa? Kelas menengah-atas atau kelas bawah yang melihat kemajuan zaman dengan enjoy dan rileks.
Tulisan Imam Cahyono ”Berharap kepada Perempuan Penulis” (Sinar Harapan, 21/12/2003) setali tiga uang dengan peristiwa kontra goyang Inulmania beberapa waktu lalu. Seolah kalangan menengah benar-benar ditelanjangi tata susilanya diudal-udal oleh Inul, dan marah-marah karena mereka menganggap apa yang dilakukan Inul itu tidak sopan, berdosa dan harus diberantas. Tapi apa yang terjadi? Karena Inul adalah ikon pemberontakan, (bahkan dalam majalah Time, Inul disamakan dengan fenomena Joan Jet) resistensi, dari budaya masyarakat bawah, budaya massa maka Inulmania tetap lestari, khususnya di kalangan bawah. Itulah perlawanan budaya yang dilakukan masyarakat bawah menghadapi budaya kelas menengah yang dinilai terlalu kaku, dogmatis dan melegitimasi status quo mereka saja, sebagai pengemban peradaban. Di mana pun kita berada pasti ada sebuah kutub budaya, sejak zaman dulu hingga sekarang. Yang satu mengatasnamakan budaya adiluhung, yang lain mewakili budaya pinggiran, bawah dan selalu dinilai jelek oleh kalangan menengah-atas. Tapi jangan lupa, melihat Inul bergoyang kita marah-marah dan menyalahkan moralitas yang diusung Inul, padahal diam-diam suami kita asyik mengoleksi vcd-nya, bergoyang di diskotek, atau berlangganan majalah Playboy. Inikah gambaran masyarakat kita yang tertutup tapi ketika ada kesempatan diam-diam berasyik ria? Itulah cermin masyarakat yang munafik dan mau menangnya sendiri. Nilai-nilai estetik seolah merekalah yang memegang dan kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang mereka percayai maka semua karya seni adalah buruk dan tuna susila.
Di dalam sejarah sastra dunia kita telah mengetahui pernah terjadi penindakan pemerintah terhadap pengarang dan karya sastra yang didakwa isinya telah melanggar moral umum. Di Prancis pengarang Gustave Flaubret pernah dipanggil ke muka hakim untuk mempertanggungjawabkan penulisan romannya Madame Bovary yang dianggap tidak sopan. Demikian juga pemerintah Inggris dan Amerika telah melarang terbitnya Ulysses karangan James Joyce dan Lady Chatterley’s Lover karangan D.H. Lawrence yang menguar masalah homoseksual dan lesbian dengan alasan yang sama. Namun demikian seiring berjalannya waktu karya-karya tersebut ternyata mendapatkan kedudukan yang terhormat dan menjadi karya klasik, kelas satu.
Jika kita mempermasalahkan karya sastra para pengarang muda yang berjenis kelamin perempuan, Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Dewi Dee Lestari, Herlinatiens, Fira Basuki dan masih banyak lagi, yang dianggap karyanya lebih bersifat sesaat dan populer karena banyak mempermainkan alat kelamin, tuna susila maka yang perlu dipertanyakan siapa sih yang memiliki otoritas dan berhak menentukan kesopanan atau esetika sastra itu? Perlu diketahui bahwa ukuran-ukuran tuna susila dalam sastra dari waktu ke waktu senantiasa berubah menurut zamannya. Dulu ketika terbit roman Armjn Pane, Belenggu, pada tahun 1940 tidak sedikit orang merasa tersinggung kesadaran susilanya oleh adegan tokoh utama dokter Sukartono yang menghadapi pasien perempuan yang tersingkap kainnya sehingga tampak bagian pahanya. Sekarang karena perkembangan zaman, era globalisasi, bertebaran roman-roman picisan, Nick Carter, tabloid lher di mana-mana, vcd porno marak, adegan ciuman di film TV, sudah biasa, akses internet sangat terbuka, adegan di dalam Belenggu itu boleh dikata sama sekali tidak menjadi perhatian pembaca karena tidak menyinggung kesadaran apa pun, kecuali membangkitkan kesan-kesan yang sentimental.
Karya sastra yang mengandung pengalaman erotik dengan uraian yang plastis sampai kepada kejadian yang sekecil-kecilnya dapat kita jumpai juga di dalam karya sastra daerah. Barangsiapa yang mempelajari sastra Jawa tentu akan mengenal Gatoloco, karangan yang berisi ajaran mistik Islam Jawa yang sudah tergolong dalam karya-karya klasik, yakni karya-karya yang telah memperoleh kedudukan yang terpadang dan terhormat di tengah-tengah bacaan lain. Mistik di dalam karangan itu diuraikan melalui simbolik seksual. Sekalipun memiliki suasana lokal serta bentuk ekspresi yang lain, karangan itu amat dekat sifatnya dengan puisi mistik India seperti yang terkadung dalam Prem Sagar dan Gita Govinda atau dengan sajak-sajak Arab-Persi seperti yang dikarang oleh Hafiz dan Ibn Hizam yang mempersenyawakan juga persatuan antara Khalik dan makhluk dengan persatuan tubuh antara laki-laki dan perempuan.
Kalau dibaca adegan itu saja dengan tidak memperhatikan keseluruhan cerita, maka berhak kita mengecap pengarang-pengarang itu sebagai pengumbar tuna susila. Demikian juga dengan karya-karya sastra lain bila kita hanya memperhatikan peristiwa hal ihwal kelamin, maka karya tersebut bisa bersifat cabul. Tapi karya sastra itu adalah keutuhan dan tak bisa dipisah-pisahkan, motif-motif tokoh-tokohnya untuk melakukan hal-hal tersebut yang perlu ditandai, kenapa tokoh tersebut melakukan hal itu, pengarang ingin melukiskan karakter-sifat macam apa, tinggal pembaca mengambil hikmahnya dari peristiwa tersebut. Misal dalam cerpen Djenar Mahesa Ayu yang berjudul, ”Aku Menyusu Ayah”, ia sedang mendekonstruksi patriaki dalam peradaban kita. Jadi tema utamanya adalah kebiasan gender antara laki-laki dan perempuan dan bukannya mengeksploitasi alat kelamin dan sekitarnya. Hal ini mesti dibedakan dengan karangan-karangan roman picisan yang benar-benar mengeksploitasi alat kelamin agar kita benar-benar terangsang dan berdebar-debar, dan ceritanya hanya gerakan-gerakan bersetubuh yang itu-itu juga, kadang kita menjadi muak. Tapi dalam karya-karya pengarang perempuan yang sengaja dikutip Imam Cahyono, hal itu tidak terjadi. Para pengarang hanya melukiskan bahkan itu hanya dalam percakapan, keinginan atau kehendak untuk melakukan persetubuhan tanpa detail-detail yang merangsang kita, itu merupakan peristiwa yang memang mestinya terjadi dalam cerita, tanpa hal itu cerita tidak akan terangkat, apa yang diinginkan pengarang baik karakter, tema, suasana dan gaya.
Karya sastra seperti yang kita ketahui, setiap karya seni yang berhasil, adalah suatu kesatuan yang organis yang mengandung kepaduan gaya, suasana dan cerita. Kesatuan itu terdukung oleh tema yang pokok. Dari asas estetik ini kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa selama adegan yang menguraikan secara terperinci perbuatan seks merupakan unsur yang organis di dalam kesatuan karya sastra sehingga jika ditiadakan akan mengganggu dan merusak kepaduan gaya, suasana dan cerita, maka tidak berhaklah kita menuduh karya sastra itu tuna susila atau hanya bersifat populer. Sebaliknya di dalam karya yang bersifat pornografi adegan-adegan seks dapat dihilangkan tanpa mengganggu ataupun merusak kepaduan gaya, suasana dan cerita. Ada baiknya tulisan ini kita tutup dengan petikan puisi ”La Ronde” karya Sitor Situmorang yang terkenal itu karena melukiskan persetubuhan.
Lalu, paha, pualam pahatan
mendukung lekung perut.
Berkisar di pusar, lalu surut
agak ke bawah, ke pusar segala.

Hitam pekat siap menerima
dugaan indah.
Ah, dada yang lembut menekan hati
Terimalah
kematangan mimpi lelaki !

Penulis adalah Pengamat Sosial-Budaya dan Cerpenis tinggal di Madiun.


 

Tebaran Seks dari Gatoloco hingga Lady Chatterley’s Lover

•05 Maret 2007 • 44 Komentar

Tebaran Seks dari Gatoloco

hingga Lady Chatterley’s Lover

Seks adalah persoalan yang purba. Adam dan Hawa, manusia pertama di dunia, dikeluarkan dari surga penyebab utamanya adalah persoalan seks. Buah kuldi yang dilarang Tuhan untuk dimakan Adam, kalau merujuk Alquran surat Al A’raaf (‘tempat tertinggi’) ayat 19-22, tidak lain yang dimaksud “buah kuldi” adalah sesuatu yang berhubungan dengan aurat, seks. Dan Adam memakan buah kuldi itu karena bujukan setan. Sampai sekarang pun persoalan seks terus bertebaran, hingga ke karya sastra.

Dalam bukunya Khazanah Sastra Indonesia, A Teeuw menempatkan sastra sebagai jalur keempat ke kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Sastra ditempatkan Teeuw pada posisi yang relatif terhormat karena di dalamnya mengandung nilai dan di antaranya merupakan cerminan masyarakat sejamannya yang bisa dijadikan hikmah.

Dalam kaitannya dengan persoalan seks, baik dalam sastra daerah, sastra Indonesia, maupun sastra dunia, pembicaraan seputar perkelaminan itu merupakan suatu ketelanjuran. Gatoloco, Centini, Pengakuan Pariyem, Madame Bovary, dan Lady Chatterley’s Lover adalah sejumlah contoh betapa persoalan seks sudah merambah karya sastra sejak lama. Dalam buku Seks, Sastra, Kita, Goenawan Mohamad sampai pada kesimpulan bahwa persoalan karya sastra bukan pada ada tidaknya seks pada karya sastra, melainkan wajar tidaknya kehadiran seks dalam pengucapan literer.

Gatoloco sesungguhnya bukanlah karya sastra yang bermutu tinggi semacam Mahabarata dan Ramayana. Ia sering dibicarakan karena dua hal, yakni karena adanya ajaran mistik Jawa dan perkara seks yang tersusun secara vulgar. Peredarannya yang sangat terbatas di lingkungan keraton Jawa yang homogen menyebabkan kelahiran Gatoloco dan juga Darmogandul serta Centini tidak menimbulkan ketegangan di masyarakat sekitarnya, yang saat itu belum begitu melek huruf.

Ini berbeda dengan kelahiran Lady Chatterley’s Lover karya DH Lawrence, Ullyses karya James Joyce, Madame Bovary karya Gustave Flaubert, dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag yang sempat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat yang sudah melek huruf dan memperlakukan persoalan kesusilaan dengan ketat, di negara masing-masing. Karya sastra lainnya yang sering menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat pembacanya adalah karya sastra yang menyinggung persoalan agama dan politik, dan terlalu banyak contohnya, seperti Satanic Verses Salman Rushdie, Langit Makin Mendung Ki Panjikusmin, dan Bumi Manusia, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer.

A Sudewa, dalam tulisannya “Wanita Jawa: Antara Tradisi dan Transformasi” (yang dihimpun dalam Citra Wanita Jawa dan Kekuasaan Jawa karya Budi Santoso), menyebutkan Serat Gatholoco berisi perdebatan ajaran tasawuf, berisi dialog antara guru laki-laki dengan murid perempuan dengan menggunakan kata-kata yang kasar dan terkadang jorok. Sang guru bernama Gatoloco, yang berarti alat kelamin laki-laki. Sedangkan sang murid bernama Perjiwati, yang berarti alat kelamin perempuan.

Sementara dalam Bakat Alam dan Intelektualisme, Subagio Sastrowardoyo menyebutkan Gatoloco sebagai sastra Jawa yang berisi ajaran mistik Islam Jawa yang tergolong klasik. Mistik dalam karangan itu diuraikan melalui simbol seksual. Buku tersebut merupakan karya sastra yang mengandung pengalaman erotik dengan uraian plastis sampai kepada kejadian yang sekecil-kecilnya. Gatoloco, Centini, dan Darmogandul diistilahkan Subagio Sastrowardoyo sebagai ensiklopedi kebudayaan Jawa yang mengetengahkan berbagai kehidupan sosial, moral, dan agama dalam masyarakat Jawa, melukiskan adegan persetubuhan dan perlambangan perkelaminan dengan sangat nyata dan hidup.

Gatoloco secara ekstrim sekali menggambarkan proses persetubuhan. Gatoloco yang menjadi tokoh utama di dalam karya mistik itu adalah personifikasi dari asas kelelakian. Ia dirupakan sebagai laki-laki buruk wajah dan bentuknya, tubuhnya kerdil, kulitnya seperti sisik, tidak bermata, tidak berhidung, dan tidak berkuping. Gatoloco selalu ditemani oleh bujangnya yang bernama Darmogandul. Dari nama dan segala simbolik di sekitar kedua tokoh ini tersarankan kepada pembaca bahwa yang digambarkan adalah bentuk alat kelamin laki-laki. Gatoloco dan Darmogandul mengembara beberapa lama sambil berdebat mengenai filsafat dan mistik dengan ahli-ahli agama. Mereka akhirnya bertemu dengan putri Perjiwati yang tinggal di gua Terusan. Dari perlambangan dan lukisan telah kentara pula bahwa tokoh perempuan ini adalah personifikasi dari asas perempuan. Dalam satu adegan dilukiskan bagaimana Gatoloco berhasil memasuki gua tersebut untuk menjemput Perjiwati, yang diuraikan dengan plastis dan detil, terkadang cenderung menjadi kasar di sana-sini tentang proses persetubuhan. Sementara dalam Serat Centhini bertebaran pula adegan-adegan erotik yang menimbulkan nafsu birahi. Sunan Pakubuana V atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, yang memprakarsai lahirnya Serat Centhini, sempat kecewa pada ketiga pujangga yang menulis Serat Centhini, yakni Kyai Ngabehi Ranggasutrasna, Kyai Ngabehi Yasadipura II, dan Kyai Ngabehi Sastradipura. Alasannya sederhana, ketiga pujangga keraton itu tidak jelas mengungkap masalah senggama atau tulisan semacam Kamasutra, sebuah karya India yang menggarap persoalan seks secara serius. Sunan Pakubuana V pun kemudian mengambil alih penulisan Serat Centhini yang berjilid-jilid itu. Mulai Jilid 5-10 pun kemudian bertebaran adegan erotik karya Sunan Pakubuana V secara jelas dan tuntas. Adegan ini dapat ditemui pula dalam Suluk Tambanglaras karya Sumahatmaka.

Dalam khasanah sastra Indonesia pun, terutama dalam Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag, juga bertebaran adegan seks antara Pariyem dengan Raden Bagus Ario Atmojo dan antara Pariyem dengan pacar pertama dan teman sekampungnya, Sokidi Kliwon. Ada 24 halaman dari 192 halaman cerita Pengakuan Pariyem yang berbicara tentang seks. Dan itu dituturkan secara blokosuto atau apa adanya. Salah satu adegan percintaan antara Pariyem dengan Raden Ario Atmojo itu seperti ini: “Lha, Den Bagus Ario Atmojo, betapa sering dia kumat manjanya. Wah, wah, kalau sudah begini, saya dibikin setengah mati. Lha, sudah gede kok suka merengek, kayak bocah kehilangan bonekanya. Apalagi kalau saya goda, besok saja ah, besok saja, saya sedang capek kok. Tapi saya juga pasang gaya: melepas setagen berganti kain, copot kebaya ganti yang lain.

Wuah-wuah, dia pasti terus merajuk. Tidak jarang dia pun ngamuk-ngamuk. Bilangnya, dia tresna banget sama saya. O allah Gusti nyuwun ngapura. O, saya tahu itu omongan gombal. Tapi biarpun gombal saya senang. Apabila seorang pria naik birahi, tingkah lakunya penuh emosi. Tingkah lakunya tak berbeda, sama dengan binatang piaraannya. Otaknya macet, nalarnya buntet, dan perasaannya terbakar.

Demikian pun Den Bagus Ario Atmojo. Saya dibopongnya, diambunginya. Saya sibaringkan di atas amben, tempat tidur saya bila malam, tempat ngaso saya bila siang. Dalam keriat-keriut diseling sunyi, saya digulatinya habis-habisan. Tak malam, tak siang, tak sore, waktu habis di atas bale-bale. Dalam dahaga saya reguk air murni, jagad merasuk ke dalam sanubari. Oh ampun ya ampun! Anunya gede banget lho. Saya marem meladeninya. Komentar Subagio Sastrowardoyo atas Pengakuan Pariyem yang dimuat di majalah Tempo menunjukkan sikap yang bisa menerima atas kehadiran buku tersebut, yang memang sempat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat pembaca pada awal kemunculannya. Dalam pandangannya, Subagio menilai Maria Magdalena Pariyem berbeda dengan Maria Magdalena di dalam Kitab Injil yang sadar akan dosanya. Maria Magdalena Pariyem dari Gunung Kidul, Yogyakarta, ini tidak mengenal dosa. Dia tidak merasa terikat kepada dogma-dogma agama dan membenarkan naluri-naluri alam. Kehidupan mengalir dengan wajar dan tidak ada penyesalan-penyesalan yang menggoda batinnya. Pariyem lebih dekat kepada kejawaannya daripada kepada agama Katoliknya, seperti yang terucap dalam pengakuannya, “Bila dia itu orang Jawa tulen, tak usah merasa perlu ditanya — perkara dosa.”

Kehidupan seks Pariyem yang dibentangkan dalam buku ini tanpa disidhem dan didekam, juga sekadar mengikuti aliran alam yang tidak terhambat oleh cuaca batin yang gelap. “Saya mau mengalir saja, saya krasan ada di dalamnya.” Dia tidak gusar ketika hilang keperawanannya oleh teman sekampungnya, Sokidi Kliwon. Juga kemudian setelah menjadi babu (pembantu) di Yogya, ia melayani kebutuhan bermain cinta putra majikannya dengan lega lila (ikhlas) pula. Bahkan setelah hubungan itu membuahkan anak, ia rela menerima keturunan itu, dan tidak menjadi soal baginya apakah ia akan dinikahi atau tidak. Dalam bukunya Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan: Seberkas Catatan Sastra, Subagio Sastrowardoyo yang menyoroti moralitas dalam kesusastraan mengatakan, moralitas dalam sastra dinilai dari dasar pertimbangan seberapa jauhnya kandungan karya sastra memenuhi ataupun melanggar tanggapan masyarakat pada umumnya mengenai kepatutan hidup yang disebut kesusilaan.

Dalam sejarah kesusastraan dunia, beberapa karangan yang kemudian terkenal sebagai karya sastra yang besar artinya bagi perkembangan sastra pada suatu waktu pernah mengalami pelarangan di suatu negara. Ullyses karya James Joyce pernah dilarang beredar di Amerika Serikat, Lady Chatterley’s Lover karya DH Lawrence pun pernah dilarang beredar di Inggris dengan alasan bahwa roman-roman itu terlalu terbuka mengetengahkan hubungan seks. Terutama pada bagian yang menguraikan pertemuan-pertemuan Lady Chatterley dengan bujang (pembantu) pemelihara binatang piaraannya di sebuah gubuk, karena adanya dorongan perasaan Lady Chatterley yang tidak puas hidup dengan suaminya. Hanya saja, setelah Amerika dan Inggris dikuasai kelas menengah yang tidak konservatif, maka kedua karya tersebut dapat beredar kembali.

A Teeuw dalam Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, yang menggunakan pendekatan teori resepsi, melihat adanya pergeseran norma sosio-budaya dalam pelarangan buku Lady Chatterley’s Lover. Dalam sejarah sastra Inggris, buku DH Lawrence Lady Chatterley’s Lover yang bentuk aslinya dianggap melanggar tata susila, sehingga mau tak mau buku itu harus diubah, dibersihkan, supaya penulisnya dapat luput dari hukuman penjara. Jauh kemudian bentuk asli baru memungkinkan diterbitkan tanpa bahaya. Jelaslah kasus semacam itu sangat menarik dari segi resepsi sastra dalam masyarakat: karya yang pada masa tertentu dianggap melanggar tata susila dan berbahaya, beberapa puluh tahun kemudian ternyata dapat diterima, setidaknya tidak dapat diadili lagi, karena perubahan norma susila yang menjadi lebih longgar.

Persoalan seks akan menjadi sesuatu yang lazim dalam sejarah manusia sejak awalnya hingga akhirnya. Bahkan Tuhan pun tidak pernah mengajarkan hal itu pada Adam sebelumnya, selain mengajarinya nama-nama pohon dan binatang. Namun tidak perlu ada mata pelajaran atau kuliah khusus untuk mengerti dan memahami soal seks, yang bisa membawa persoalan yang berbeda-beda dalam masyarakat heterogen.

                                                                                   Esai Asep S Sambodja

Identitas Baju Bekas

•05 Maret 2007 • 1 Komentar

Identitas Baju Bekas

 

Oleh Nuraini Juliastuti

Baju bekas tercatat ikut membentuk gaya subkultur anak muda yang khusus dan unik. Selain merefleksikan posisi keuangan anak-anak muda yang terbatas, ia juga menggambarkan gairah akan gaya pakaian-pakaian retro yang otentik dan tidak ada kembarannya. Jenis baju yang dijual di toko-toko baju bekas biasanya berjumlah terbatas atau malah hanya tersedia sebanyak 1 buah saja sehingga terkesan lebih personal. Efek personalitas ini yang tidak bisa didapat jika kita membeli baju di mall atau supermarket karena baju-baju yang dijual di sana rata-rata dibuat secara massal. Selain memberi kesan lebih personal, dengan memakai baju-baju bekas, sejarah dan nilai-nilai lama yang dibawa oleh baju-baju tersebut seolah-olah dikosongkan atau dihilangkan karena dimaknai secara berbeda dan diberi nilai-nilai baru, serta diisi dengan sejarah baru.

Di Indonesia sendiri, kemunculan pasar baju bekas ini tidak berjalan merata. Pasar baju bekas di Sumatera, Batam, Kalimantan, dan Sulawesi misalnya, lebih dulu muncul daripada di Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya dsb. Toko baju bekas di sini lazim disebut dengan toko baju impor, karena memang baju-baju bekas itu asalnya dibawa dalam karung-karung besar dari pelabuhan. Jenis barang yang dijual di toko macam ini bermacam-macam, mulai dari kaos, hem, jaket, celana panjang, sampai selimut-selimut tebal dan bed cover. Harga barang-barang yang dijual di kota-kota yang dekat dengan pelabuhan biasanya lebih murah daripada di kota-kota lain. Penampilan baju bekas kerap diidentikkan dengan kelompok bergaya traveller atau new age. Kaos bertumpuk-tumpuk, rompi bekas dengan beberapa lubang di sudut-sudutnya, sweater bekas, dan celana yang dijahit sendiri dari kain-kain perca. Mereka mempunyai anggaran yang terbatas untuk membeli pakaian, lagipula pakaian tidak menempati posisi penting dari eksistensi mereka. Sehingga bagi mereka pakaian pun bisa diwariskan dari kakak tertua ke adik dan saudara-saudara yang lain. Di Inggris, gaya pakaian bekas (second hand dress) ini banyak dipakai juga oleh kelompok indie dan para mahasiswa di tahun 1980-an dan 1990-an. Mereka biasanya memakai t-shirt bekas, jumper, atau jaket bekas dari kain wol. Di Indonesia, konsumen terbesar baju-baju bekas adalah anak-anak muda. Tetapi anak-anak muda ini kadang bersikap malu-malu kalau ketahuan membeli baju bekas. Sikap malu-malu dari konsumen baju bekas di Indonesia ini juga didorong oleh respon sebagian besar masyarakat yang menganggap baju-baju bekas adalah sesuatu yang menjijikkan karena tidak jelas asal-usul sejarahnya, juga berkesan kumuh karena dibeli di tempat-tempat yang sempit penuh sesak dengan karung-karung isi baju bekas bertumpuk-tumpuk.

Newsletter KUNCI No. 6-7, Mei-Juni 2000